DOWNLOAD APLIKASI anakUHO.com yuk !

ANAKUHO.COM,Ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,0 sampai 4 berpotensi menjadi akademisi, sebaliknya mahasiswa yang memiliki IPK 2,0 sampai 1,0 berpotensi menjadi politisi, pernyataan tersebut langsung mendatangkan gelak tawa bagi mahasiswa yang memiliki IPK diatas 3,0, sekaligus mendatangkan komplin maupun protes dari mahasiswa yang memiliki IPK berkisar 1,0 sampai 2,0 dan mentok di kisaran IPK itu-itu saja.
Mahasiswa yang marah tentunya merasa sangat tersinggung karena IPKnya rendah dan tentunya profesi sebagai politisi dalam kacamata mahasiswa khususnya mahasiswa dengan label aktivis kawakan adalah profesi yang relatifnya potensi melakukan korupsi, walaupun tidak jarang korupsi juga banyak yang datang dari profesi sebagai akademisi.
Entah mengapa terdapat setereotipe pada mahasiswa bahwa politisi merupakan penyumbang korupsi terbesar, omongan yang tidak dapat dipercaya dan banyak premis negatif pada politisi, apalagi mahasiswa berlabel aktivis kampus, mendengar kata politisi pasti sangat muak, walaupun tidak jarang banyak aktivis kampus terjun ke dunia politik setelah wisuda.
Kembali pada percakapan mengenai anekdot di atas, disela obrolan kantin kampus dengan ditemani segelas kopi tanpa sianida, seorang teman melontarkan anekdot di atas, dengan berang mahasiswa-mahasiswa IPK rendah mematahkan anekdot tersebut, menurut mereka mahasiswa dengan IPK tinggi tidak menjamin mereka lebih pintar dari mahasiswa yang IPK rendah, namun hanya karena mereka orang yang rajin dan patuh dengan peraturan maupun sistem yang berlaku di kampus, sedangkan yang IPKnya rendah adalah mereka yang sibuk mengurus organisasi dan mengutuk kebijakan pemerintah yang tidak pro masyarakat menengah ke bawah sehingga jarang masuk kuliah, itu sebabnya IPKnya rendah.
Mendengar bantahan tersebut sangat masuk akal, namun perdebatan bertambah panjang ketika mahasiswa IPK tinggi mencoba membantah argumen mahasiswa IPK rendah, dia beranggapan bahwa mahasiswa yang IPK rendah bukan cuma karena aktif di kampus namun memang karena budaya malas kuliah, sembari memuji dirinya dengan mengatakan “saya saja ikut organisasi IPK saya tinggi!”.
Perdebatan konyol ini bertambah seru, bukan main-main marahnya mahasiswa yang IPK rendah ketika dituduh berpotensi menjadi politisi. “Ente kan aktivis musiman!, kalau ada job baru turun!!”, sontak pertanyaan tersebut mendatangkan gelak tawa, bahkan yang berada di luar lingkaran diskusi ikut tertawa geli.
Lagi-lagi perseteruan tersebut semakin panas ketika seorang mahasiswa memprovokasi mahasiswa yang IPKnya rendah, “astaga, masak ente dikira besok jadi politisi?”. Mahasiswa IPK tinggi semakin memanasi forum diskusi lepas ini, berlagak cerdas ia melontarkan pernyataan yang memicu perdebatan semakin awet, “iya lah, mahasiswa IPK rendah kan sekarang ini mengalami degradasi keilmuan, aktif di organisasi tapi hanya sebatas jadi buruh program, kalau ada program dari kampus mereka aktif, kalau gak ada mereka tunggu moment demo!”, lagi-lagi ini mengundang gelak tawa.
“Ehh.. Mahasiswa IPK tinggi belum tentu nilainya murni, mungkin itu nilai karena rajin silaturahim, rajin cari muka ke dosen, disuruh buat tugas 10 lembar mereka buat 70 lembar, tulis tangan lagi!”
Suasana diskusi bukan main panasnya, serasa berada di Luxor siang hari ketika bulan puasa, mahasiswa IPK rendah vs mahasiswa IPK tinggi. Entah kenapa mereka begitu benci dengan profesi sebagai politisi, padahal moralitas seseorang bukan hanya diukur dari profesi, “kan ada juga jenggot kambing masuk bui”, tapi mungkin setereotip pada politisi ini sulit sekali akan hilang sebelum betul-betul melakukan reformasi pada lembaga tempat bernaungnya politisi-politisi itu.
Mahasiswa IPK tinggi kembali menimpal, “ehh.. perusahaan itu cari mahasiswa yang IPKnya tinggi, kalau yang rendah, paling kau jadi tukang anterin saya kopi besok!”
Mahasiswa IPK rendah lagi-lagi dan lagi semakin berang, “ehh perusahaan itu cari mahasiswa yang IPK tinggi bukan karena mereka pintar, tapi karena mereka rajin, IPK 3,.. dijadikan acuan menentukan mahasiswa rajin dan tentunya patuh walaupun digaji dengan upah murah”. Kajian organisasi pun mulai muncul disela perdebatan, nah imbas bagi yang tidak memahami teori kapitalis akan melongo melihat keruntuhan bangunan argumennya.
Mahasiswa IPK tinggi-pun semakin lemas lesu ketika mahasiswa IPK rendah semakin mematahkan semangat kebahagiaan IPKnya, “Ehh kamu kira mertua besok nanya berapa IPKmu?!, yang ditanya itu berapa modalmu mau lamar anak orang, lo kira gampang ubah mas kawin pakai IPK!”, perdebatan itupun akhirnya berhenti ketika salah seorang teman merubah setir diskusi ke arah yang lebih produktif lagi, akhirnya mitos IPK rendah berpotensi menjadi politisi masih menyimpan misteri yang belum terpecahkan, mungkin ketika ada penelitian yang akan meneliti berapa IPK 560 anggota DPR RI saat menjadi mahasiswa dulu, akan mampu untuk memecah misteri tersebut. Jelasnya mahasiswa IPK rendah berpotensi menjadi politisi adalah misteri.
Tapi ketika anekdot ini benar, maka rektor jangan main-main dengan mahasiswa IPK rendah, karena ketika dia kelak menjadi politisi, tamatlah riwayat rektor. Untuk itu bagi semua rektor, cintailah mahasiswa IPK rendah.
0 komentar:
Posting Komentar