ANAKUHO.COM,Vivat Academia! Vivant Civilibus! Delapan belas tahun yang lalu, sekitar enampuluhan mahasiswa baru jurusan teknologi pertanian, Universitas Hasanuddin, menjalani orientasi. Dipelonco oleh kakak tingkatnya. Disuruh apa saja. Guling-guling. Jalan jongkok. Merayap. Menertawai pohon sampai besar. Apa saja yang menyenangkan hati senior yang barangkali ada di antara mereka yang sedang galau karena ditolak cintanya atau nilai mata kuliahnya error.

Di sela-sela rutinitas melelahkan, lucu, sekaligus “mencekam” itu, para mahasiswa berkepala gundul ini diperkenalkan lagu-lagu. Mars universitas dan sebuah lagu komersium akademik berjudul “De Brevitate Vitae” yang lebih dikenal dengan lagu “Gaudeamus Igitur”.
Di Jerman, lagu ini disimbolisasi sebagai lagu perjuangan kebebasan akademi. Dan secara umum, negara-negara Barat menyanyikannya dalam upacara-upacara kelulusan. Di Indonesia pun demikian. Perguruan-perguruan tinggi menyanyikan lagu gaudeamus pada acara-acara resmi kampus.
Saya memiliki pemaknaan tersendiri atas lagu ini. Setiap dinyanyikan, aroma akademik seperti menguar ke segala penjuru. Dalam imajinasiku, lagu ini semacam mantra yang membawa kita pada dunia yang diisi oleh manusia-manusia terpelajar. Manusia yang berkecimpung pada dunia intelektual dan cendekia.
Dunia yang menyelesaikan setiap persoalannya dengan timbangan hati dan pikiran yang seimbang. Jauh dari bentuk-bentuk pragmatisme yang sesat. Dan ketika saya berdiri menyanyikan lagu itu, tanah tempatku berpijak kuanggap sebagai dunia dalam imajinasiku. Idealnya begitu. Kampus harusnya seperti itu.
*** *** ***
Beberapa hari lalu, Ketua Panitia Pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Profesor Hilaluddin Hanafi meresmikan kandidat rektor yang memenuhi syarat untuk berkompetisi menjadi Rektor UHO Periode 2016-2020.
Jumlah yang mendaftar lumayan banyak. Sebelas orang. Barangkali bisa memecahkan rekor sebagai calon rektor perguruan tinggi negeri terbanyak di Indonesia.
Pastinya semua bergelar doktor, meski tak seluruhnya menyandang profesor. Secara berurut, mereka adalah Anas Nikoyan, Andi Bahrun, Buyung Sarita, La Niampe, Laode Muh. Aslan, Larianda, La Sara, Muhammad Zamrun, Mukhtar, Nurlansi, dan Yani Taufik.
Kursi rektor sepertinya begitu menggiurkan para ilmuwan-ilmuwan senior di kampus ini. Sangat dimahfumi bahwa dalam ajang pemilihan apapun, politik praktis memang sangat terasa. Mungkin hanya pemilihan ratu kecantikan dan ratu dangdut saja yang tak ada tendensi politik praktisnya. Itupun masih debatable.
Terlepas dari apa yang memotivasi hingga bursa calon rektor ini begitu ramai, saya hendak membandingkannya dengan produktifitas keilmuwan dari elit-elit perguruan tinggi ini. Seberapa tinggi animo mereka menghasilkan karya dalam bentuk buku?
Dalam rentang empat tahun terakhir atau delapan tahun terakhir, berapa buku yang diterbitkan oleh para doktor dan gurubesar UHO? Kenapa harus buku yang dipersoalkan? Karena itulah anak kandung dari dunia akademik.
Bukulah yang menjadikan transformasi keilmuwan terus berdenyut berkesinambungan. Bukulah yang menjadikan gelar doktor dan profesor memiliki makna sejatinya. Saya hanya membayangkan betapa semarak dan bergeloranya dunia akademik di UHO andaikata semangat berkompetisi menjadi rektor ini serupa dengan spirit menulis buku.
Barangkali kita tak akan lagi menemukan satu dua orang mahasiswa yang membakar ban di jalanan, menghalangi pengguna jalan lain, hanya demi sebungkus nasi atau malah sebotol minuman keras. Mungkin kita akan menemukan ribuan mahasiswa yang turun ke jalan berhari-hari untuk menumbangkan sebuah ketidakadilan.
Perguruan tinggi akan menjadi tempat bertanya. Bukan menjadi tempat legitimasi dari proyek-proyek tak layak agar kelihatan ilmiah. Kampus akan menjelma menjadi kekuatan penyeimbang yang sesungguhnya. Bukan Partai Demokrat (ups…hehehe).
Lagu gaudeamus igitur di atas membawa spirit produktifitas keilmuwan. Menuntun seorang intelektual pada filosofi “bisa merasa”, bukan sekadar “merasa bisa”.
Dari realitas yang ada, dapat ditafsir bahwa para akademisi ini dalam kondisi sadar “merasa bisa” memimpin UHO. Adakah di antara mereka bersebelas yang pernah merenung dalam kejernihan lalu kemudian menemukan makna “bisa merasa”?
Yah, “bisa merasa” akan apapun. Bisa merasa bahwa sesungguhnya dia hanya untuk melepaskan emosinya karena selama ini “tertindas”. Bisa merasa bahwa dia hanya sekadar memainkan politik praktis sehingga martabat kedoktoran dan keprofesorannya dipertaruhkan.
Bisa merasa bahwa sesungguhnya dia hanya sekadar beraktualisasi diri agar tak tenggelam oleh roda zaman yang terus berputar. Atau paling tidak, bisa merasa bahwa dia tak punya cukup dukungan untuk memenangkan kompetisi.
Kita tak tahu apakah mereka bersebelas pernah melakukan fit and proper test atas dirinya sendiri tentang “merasa bisa”-nya lalu menarik kesimpulan bahwa “bisa merasa” adalah pilihan terbaik bagi seorang cendekiawan.
Abai terhadap kesadaran “bisa merasa” ini akan menjadikan kecendekiaan seorang intelektual menjadi pudar. Pada gilirannya, mereka adalah intelektual yang memaknai politik hanya sebatas “who get what, who sit where”. Siapa dapat apa, siapa duduk dimana. Menafikan bisikan “bisa merasa” ini akan membuat seorang terpelajar menjelma menjadi orang dengan syahwat kekuasaan yang overdosis.
Perguruan tinggi bukan tempat orang seperti itu. Perguruan tinggi adalah tempat orang menyanyikan Vivat academia! Vivant professores! (Panjang umur akademi! Panjang umur para pengajar!), bukan Vivat Academia! Vivant Civilibus! (Panjang umur akademi! Panjang umur para politisi!). Itu tidak ada liriknya. Juga tak ada di kampus.***
penulis : Andi Syahrir

Di sela-sela rutinitas melelahkan, lucu, sekaligus “mencekam” itu, para mahasiswa berkepala gundul ini diperkenalkan lagu-lagu. Mars universitas dan sebuah lagu komersium akademik berjudul “De Brevitate Vitae” yang lebih dikenal dengan lagu “Gaudeamus Igitur”.
Di Jerman, lagu ini disimbolisasi sebagai lagu perjuangan kebebasan akademi. Dan secara umum, negara-negara Barat menyanyikannya dalam upacara-upacara kelulusan. Di Indonesia pun demikian. Perguruan-perguruan tinggi menyanyikan lagu gaudeamus pada acara-acara resmi kampus.
Saya memiliki pemaknaan tersendiri atas lagu ini. Setiap dinyanyikan, aroma akademik seperti menguar ke segala penjuru. Dalam imajinasiku, lagu ini semacam mantra yang membawa kita pada dunia yang diisi oleh manusia-manusia terpelajar. Manusia yang berkecimpung pada dunia intelektual dan cendekia.
Dunia yang menyelesaikan setiap persoalannya dengan timbangan hati dan pikiran yang seimbang. Jauh dari bentuk-bentuk pragmatisme yang sesat. Dan ketika saya berdiri menyanyikan lagu itu, tanah tempatku berpijak kuanggap sebagai dunia dalam imajinasiku. Idealnya begitu. Kampus harusnya seperti itu.
*** *** ***
Beberapa hari lalu, Ketua Panitia Pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Profesor Hilaluddin Hanafi meresmikan kandidat rektor yang memenuhi syarat untuk berkompetisi menjadi Rektor UHO Periode 2016-2020.
Jumlah yang mendaftar lumayan banyak. Sebelas orang. Barangkali bisa memecahkan rekor sebagai calon rektor perguruan tinggi negeri terbanyak di Indonesia.
Pastinya semua bergelar doktor, meski tak seluruhnya menyandang profesor. Secara berurut, mereka adalah Anas Nikoyan, Andi Bahrun, Buyung Sarita, La Niampe, Laode Muh. Aslan, Larianda, La Sara, Muhammad Zamrun, Mukhtar, Nurlansi, dan Yani Taufik.
Kursi rektor sepertinya begitu menggiurkan para ilmuwan-ilmuwan senior di kampus ini. Sangat dimahfumi bahwa dalam ajang pemilihan apapun, politik praktis memang sangat terasa. Mungkin hanya pemilihan ratu kecantikan dan ratu dangdut saja yang tak ada tendensi politik praktisnya. Itupun masih debatable.
Terlepas dari apa yang memotivasi hingga bursa calon rektor ini begitu ramai, saya hendak membandingkannya dengan produktifitas keilmuwan dari elit-elit perguruan tinggi ini. Seberapa tinggi animo mereka menghasilkan karya dalam bentuk buku?
Dalam rentang empat tahun terakhir atau delapan tahun terakhir, berapa buku yang diterbitkan oleh para doktor dan gurubesar UHO? Kenapa harus buku yang dipersoalkan? Karena itulah anak kandung dari dunia akademik.
Bukulah yang menjadikan transformasi keilmuwan terus berdenyut berkesinambungan. Bukulah yang menjadikan gelar doktor dan profesor memiliki makna sejatinya. Saya hanya membayangkan betapa semarak dan bergeloranya dunia akademik di UHO andaikata semangat berkompetisi menjadi rektor ini serupa dengan spirit menulis buku.
Barangkali kita tak akan lagi menemukan satu dua orang mahasiswa yang membakar ban di jalanan, menghalangi pengguna jalan lain, hanya demi sebungkus nasi atau malah sebotol minuman keras. Mungkin kita akan menemukan ribuan mahasiswa yang turun ke jalan berhari-hari untuk menumbangkan sebuah ketidakadilan.
Perguruan tinggi akan menjadi tempat bertanya. Bukan menjadi tempat legitimasi dari proyek-proyek tak layak agar kelihatan ilmiah. Kampus akan menjelma menjadi kekuatan penyeimbang yang sesungguhnya. Bukan Partai Demokrat (ups…hehehe).
Lagu gaudeamus igitur di atas membawa spirit produktifitas keilmuwan. Menuntun seorang intelektual pada filosofi “bisa merasa”, bukan sekadar “merasa bisa”.
Dari realitas yang ada, dapat ditafsir bahwa para akademisi ini dalam kondisi sadar “merasa bisa” memimpin UHO. Adakah di antara mereka bersebelas yang pernah merenung dalam kejernihan lalu kemudian menemukan makna “bisa merasa”?
Yah, “bisa merasa” akan apapun. Bisa merasa bahwa sesungguhnya dia hanya untuk melepaskan emosinya karena selama ini “tertindas”. Bisa merasa bahwa dia hanya sekadar memainkan politik praktis sehingga martabat kedoktoran dan keprofesorannya dipertaruhkan.
Bisa merasa bahwa sesungguhnya dia hanya sekadar beraktualisasi diri agar tak tenggelam oleh roda zaman yang terus berputar. Atau paling tidak, bisa merasa bahwa dia tak punya cukup dukungan untuk memenangkan kompetisi.
Kita tak tahu apakah mereka bersebelas pernah melakukan fit and proper test atas dirinya sendiri tentang “merasa bisa”-nya lalu menarik kesimpulan bahwa “bisa merasa” adalah pilihan terbaik bagi seorang cendekiawan.
Abai terhadap kesadaran “bisa merasa” ini akan menjadikan kecendekiaan seorang intelektual menjadi pudar. Pada gilirannya, mereka adalah intelektual yang memaknai politik hanya sebatas “who get what, who sit where”. Siapa dapat apa, siapa duduk dimana. Menafikan bisikan “bisa merasa” ini akan membuat seorang terpelajar menjelma menjadi orang dengan syahwat kekuasaan yang overdosis.
Perguruan tinggi bukan tempat orang seperti itu. Perguruan tinggi adalah tempat orang menyanyikan Vivat academia! Vivant professores! (Panjang umur akademi! Panjang umur para pengajar!), bukan Vivat Academia! Vivant Civilibus! (Panjang umur akademi! Panjang umur para politisi!). Itu tidak ada liriknya. Juga tak ada di kampus.***
penulis : Andi Syahrir
0 komentar:
Posting Komentar