anakUHO.com™ | Cerita skripsi selalu terdapat keasyikan yang tak ada habisnya. Seperti kisah sedih, sakit, emosi, stres dan semuanya. Mulai dari pengerjaan proposal, revisi, seminar proposal, ujian komprehensif, hingga munaqosah. Kendala yang sering ditemui seperti gagal bertemu pembimbing, bete menunggu jadual ujian atau bahkan segudang persoalan administrasi kampus lainnya. Keseluruhan itu menjadi satu kisah yang menghiasi para mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir.

Pertanyaan “kapan lulus?” menusuk tajam di relung mahasiswa tingkat akhir. Jawaban yang bisa di sampaikan seperti yang bisa dilihat di kaos yang memberikan sedikit ‘nafas’ lega. Seperti kata-kata “Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir”, atau ada juga “mm” tentang skripsi yang menjadi bahan banyolan setiap saat di media sosial. Tak apalah, semua itu sebagai bagian dari sejuta kisah dalam skripsi.
Percayalah, bahwa menghadapi skripsi bukan sebatas ujian materi perkuliahan. Tapi juga merupakan ujian mental bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan “gelar Es”. Belum lagi jika kita mengerjakannya di semester udzur, tentu setiap saat akan menjadi moment “uka-uka”. Sebab setiap saat bisa saja di ceng-cengin oleh mahasiswa lainnya. Baik yang yuniornya, atau juga seangkatan yang sudah lulus.
Ujian skripsi juga bukan hanya soal kepintaran. Bukan pula sebatas keberuntungan. Banyak yang pintar dan cerdas, setiap hari membaca buku bahkan menulis di media sosial ternama tapi untuk mengetik skripsi seolah lebih berat dari semuanya. Begitu juga mahasiswa yang rajin dan patuh terhadap dosen dan kampus belum menjamin cepat lulus. Hal sama juga terjadi pada mahasiswa yang aktif mengkritik kebijakan Negara, Agama, bahkan kebijakan kampus. Pun juga belum tentu mampu menyelesaikan skripsi.
Penulis pernah berbincang dengan salah satu senior UKM. Ia menceritakan giatnya menerjang banjir, naik gunung setinggi apapun ia taklukkan, mengejar wawancara yang mengancam nyawanya dijalaninya, namun menghadap ke Prodi seolah lebih tinggi dari gunung, lebih berbahaya dari banjir dan orang yang lebih sulit di wawancara daripada politisi yang mengancam dirinya. Padahal ruang prodi terdapat di setiap fakultas. Setiap fakultas di lengkapi lift. Hal yang tak kalah hebatnya juga mahasiswa yang notabenenya rajin ke kampus. Saat menghadapi skripsi mendadak lupa alamat kampusnya. Sehingga berbulan bulan tak lagi mengunjungi kampus.
Ada pula yang menjerit lantaran “sistem” administrasi di Prodi, fakultas atau kampus. Sistem tersebut dinilai memberatkan mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Beberapa kali pengajuan judul tak kunjung di acc. Berpuluh puluh kali harus revisi, sulitnya menemui pembimbing serta “bete”nya menunggu jadual dari kampus untuk sekadar Semprop, Kompre dan Munaqosah. Hal tersebut juga membuat mahasiswa yang sedang skripsi mendadak stres berkepanjangan.
Namun yang menarik adalah moment skripsi juga meningkatkan tingkat spiritualitasnya. Saat menghadapi skripsi, maka Tuhan pun di lobi supaya di mudahkan dan tidak di revisi. Sholat semakin khusu’, qiyamul lail, puasa sunnah dan semua ritus ibadah dijalaninya. Yang lebih ekstrem adalah sampai melakukan “khalwat” seperti suffi. Menjauh dari keramaian mahasiswa. Semua itu di lakukan agar semakin ‘khusyuk’ dalam mengerjakan skripsi.
Setiap kendala yang dihadapi tentu selalu dapat dicari solusinya. Biasanya anak-anak yang skripsi kemudian mencari teman yang sama-sama mengerjakan skripsi. Disinilah terjadi sharing, saling memberitahu, diskusi hingga saling bekerja sama untuk saling membantu apa kekurangan masing masing. Tak peduli beda semester (yang kemaren mustinya senior-junior) atau satu angkatan, yang jelas sama sama berjuang. Hal tersebut juga membangkitkan semangat untuk mengerjakan skripsi.
Kuliah, makalah, skripsi adalah hal lumrah dan wajib dilakukan oleh mahasiswa. Pengalaman penulis hanya sebatas merangkum semua cerita tentang skripsi. Tentu banyak yang belum dituangkan. Yang jelas, percaya atau tidak, bagi mahasiswa akan menjalani skripsi. Terkecuali masuk di UIN lulus di luar UIN, itu beda cerita.
Terakhir penulis hanya memberikan saran. Setiap cerita dalam skripsi adalah peluang. Skripsi tak perlu berlebihan dan terlalu mendalam. Dan tak usah di hadapi penuh ke stresan. Yang paling penting kita mampu menulis. Menulis sesuai dengan ketentuan karya ilmiah. Dengan memahami menulis sesuai karya ilmiah itu lebih penting daripada harus memilih judul yang paling ideal.
mahasiswabicara.com
Pertanyaan “kapan lulus?” menusuk tajam di relung mahasiswa tingkat akhir. Jawaban yang bisa di sampaikan seperti yang bisa dilihat di kaos yang memberikan sedikit ‘nafas’ lega. Seperti kata-kata “Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir”, atau ada juga “mm” tentang skripsi yang menjadi bahan banyolan setiap saat di media sosial. Tak apalah, semua itu sebagai bagian dari sejuta kisah dalam skripsi.
Percayalah, bahwa menghadapi skripsi bukan sebatas ujian materi perkuliahan. Tapi juga merupakan ujian mental bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan “gelar Es”. Belum lagi jika kita mengerjakannya di semester udzur, tentu setiap saat akan menjadi moment “uka-uka”. Sebab setiap saat bisa saja di ceng-cengin oleh mahasiswa lainnya. Baik yang yuniornya, atau juga seangkatan yang sudah lulus.
Ujian skripsi juga bukan hanya soal kepintaran. Bukan pula sebatas keberuntungan. Banyak yang pintar dan cerdas, setiap hari membaca buku bahkan menulis di media sosial ternama tapi untuk mengetik skripsi seolah lebih berat dari semuanya. Begitu juga mahasiswa yang rajin dan patuh terhadap dosen dan kampus belum menjamin cepat lulus. Hal sama juga terjadi pada mahasiswa yang aktif mengkritik kebijakan Negara, Agama, bahkan kebijakan kampus. Pun juga belum tentu mampu menyelesaikan skripsi.
Penulis pernah berbincang dengan salah satu senior UKM. Ia menceritakan giatnya menerjang banjir, naik gunung setinggi apapun ia taklukkan, mengejar wawancara yang mengancam nyawanya dijalaninya, namun menghadap ke Prodi seolah lebih tinggi dari gunung, lebih berbahaya dari banjir dan orang yang lebih sulit di wawancara daripada politisi yang mengancam dirinya. Padahal ruang prodi terdapat di setiap fakultas. Setiap fakultas di lengkapi lift. Hal yang tak kalah hebatnya juga mahasiswa yang notabenenya rajin ke kampus. Saat menghadapi skripsi mendadak lupa alamat kampusnya. Sehingga berbulan bulan tak lagi mengunjungi kampus.
Ada pula yang menjerit lantaran “sistem” administrasi di Prodi, fakultas atau kampus. Sistem tersebut dinilai memberatkan mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Beberapa kali pengajuan judul tak kunjung di acc. Berpuluh puluh kali harus revisi, sulitnya menemui pembimbing serta “bete”nya menunggu jadual dari kampus untuk sekadar Semprop, Kompre dan Munaqosah. Hal tersebut juga membuat mahasiswa yang sedang skripsi mendadak stres berkepanjangan.
Namun yang menarik adalah moment skripsi juga meningkatkan tingkat spiritualitasnya. Saat menghadapi skripsi, maka Tuhan pun di lobi supaya di mudahkan dan tidak di revisi. Sholat semakin khusu’, qiyamul lail, puasa sunnah dan semua ritus ibadah dijalaninya. Yang lebih ekstrem adalah sampai melakukan “khalwat” seperti suffi. Menjauh dari keramaian mahasiswa. Semua itu di lakukan agar semakin ‘khusyuk’ dalam mengerjakan skripsi.
Setiap kendala yang dihadapi tentu selalu dapat dicari solusinya. Biasanya anak-anak yang skripsi kemudian mencari teman yang sama-sama mengerjakan skripsi. Disinilah terjadi sharing, saling memberitahu, diskusi hingga saling bekerja sama untuk saling membantu apa kekurangan masing masing. Tak peduli beda semester (yang kemaren mustinya senior-junior) atau satu angkatan, yang jelas sama sama berjuang. Hal tersebut juga membangkitkan semangat untuk mengerjakan skripsi.
Kuliah, makalah, skripsi adalah hal lumrah dan wajib dilakukan oleh mahasiswa. Pengalaman penulis hanya sebatas merangkum semua cerita tentang skripsi. Tentu banyak yang belum dituangkan. Yang jelas, percaya atau tidak, bagi mahasiswa akan menjalani skripsi. Terkecuali masuk di UIN lulus di luar UIN, itu beda cerita.
Terakhir penulis hanya memberikan saran. Setiap cerita dalam skripsi adalah peluang. Skripsi tak perlu berlebihan dan terlalu mendalam. Dan tak usah di hadapi penuh ke stresan. Yang paling penting kita mampu menulis. Menulis sesuai dengan ketentuan karya ilmiah. Dengan memahami menulis sesuai karya ilmiah itu lebih penting daripada harus memilih judul yang paling ideal.
mahasiswabicara.com
0 komentar:
Posting Komentar