Tapi masuk Komunikasi gak serta-merta bikin kamu kayak Pak Jakob Oetama atau Effendi Ghazali. Ada asam garam akademis yang harus kamu telan: disangka gampang tugasnya, gak jelas kuliahnya, sampai konon sulit cari kerjanya.
Tapi tetap aja, di antara semua duka itu, yang kamu rasakan hanya gembira. Lah, kok bisa? Iya. Memang cuma mahasiswa Komunikasi yang paham gimana bisa bahagia belajar di jurusan seperti ini:
1. Jika banyak orang kuliah biar gampang kerja, anak Komunikasi hanya menghidupi cita-cita masa kecilnya.
Banyak anak Komunikasi yang akhirnya masuk jurusan ini karena pas kecilnya kebanyakan nonton berita. Dunia Dalam Berita di TVRI, lebih tepatnya.
2. Impian mereka? Supaya bisa jadi anchor atau jurnalis terkenal!
Walaupun di masa kecil kamu sering nonton berita, sebenarnya sih yang kamu suka bukan isi beritanya. Para anchor di TV-lah yang bikin kamu terpana. Arief Suditomo, Desi Anwar, Jeremy Teti, Ira Kusno…yah, kalo sekarang semacam Marissa Anita atau Tim Marbun gitu deh. Kamu pun bertekad: kalau besar, kamu mau jadi kayak mereka.
Atau mungkin dari kecil kamu suka baca koran dan memoar perjalanan wartawan kayak Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Idealisme mereka bikin hati kecilmu membara. (Gila, ada bener gak ya anak kayak gini.)
3. Bisa juga, kamu berambisi masuk Komunikasi karena penasaran sama iklan di TV
Awalnya, kamu terpesona karena jingle iklan yang sangat mudah diterima telinga. Jargon iklannya pun bisa berputar di kepalamu hingga berhari-hari, padahal iklannya sendiri cuma berapa detik. Lama-lama kamu pun penasaran gimana sebuah iklan dibuat.
Sama kayak iklan, film juga bisa menyihirmu. Rasanya seru membayangkan gimana kerennya dirimu saat bisa memproduksi, menyutradarai, atau menjadi penulis naskah sebuah film. Kamu pengen kayak Stanley Kubrick, Alfred Hitchcock, Usmar Ismail dan Garin Nugroho yang bisa menyihir orang lain lewat karya-karya mereka. Itu mimpi besar sih, tapi ‘kan bukan dosa juga.
4. Mungkin juga kamu masuk Komunikasi karena (dalam pikiranmu) itu cool aja
Mungkin karena stereotip, kamu beranggapan anak-anak Komunikasi itu gaul-gaul semua. Pinter ngomong, bisa bawa diri, dan kalau cantik atau ganteng bisa jadi artis. Padahal sih sebenarnya nggak juga.
5. Tapi, ada juga anak yang masuk karena mengira kerjaan mahasiswa Komunikasi adalah merakit ponsel. What?!
Lah? Komunikasi? Maksud kamu “telekomunikasi”, kali!
6. Ketika kamu utarakan niat untuk mengambil Komunikasi, orang tua bertanya: “Itu Kuliah Apa Sih, Nak?”
Jurusan Akuntansi belajar pembukuan, hitung-hitungan, pajak, dan sedikit ilmu wiraswasta. Jurusan Kedokteran belajar anatomi, virologi, sampai etika biomedis. Jurusan Komunikasi belajar apa?
7. Pertanyaan berikutnya yang diluncurkan: “Kalau udah lulus, emangnya bisa jadi apa?”
“Kamu mau bisa nulis? Memangnya sekarang kamu belum bisa nulis? Terus Papa ngajarin apa dulu pas kamu kecil?
Mau pinter bicara? Lah, memangnya sekarang belum bisa bicara?”
8. Tapi Pak, Bu, kuliah itu buat nyari ilmu, bukan buat nyari kerja!
Udah pintar ngeles bisa menyampaikan maksud seperti itu, berarti kamu punya bakat alamiah buat kuliah di jurusan Komunikasi! Kamu pun makin yakin dengan masa depanmu.
9. Kamu ngebet langsung kuliah aja, sampai lebih mentingin SNMPTN daripada UN
Padahal kamu harus lulus UN dulu baru bisa ikut SNMPTN. Semangat!!
10. Setelah menunggu sekian lama, kamu dapat kepastian bahwa kamu DITERIMA!
11. Deg-degan plus penasaran, kamu semangat datang di kelas pertama
12. Kamu udah gak sabar banget mau belajar tentang iklan, film, jurnalisme, public relations, TV, dan media baru.
“Bapak, Ibu, jadikan aku pembawa acara terkenal! Jadikan aku penulis handal calon pemenang Pulitzer! Jadikan aku fotografer seperti Darwis Triadi! Aku siap belajar di bawah sayapmu dan cahaya pelitamu!”
13. Sayangnya, kamu tidak tahu kenyataan sebenarnya. Kamu tidak tahu apa-apa.
Bukannya belajar soal metode penulisan naskah film atau teknik-teknik dasar wawancara, di semester awal kamu justru bakal dihajar mata kuliah “Sejarah Sosial dan Politik Indonesia” dan “Pengantar Ilmu Politik”. Semangatmu pun langsung pudar.
Kamu pun sadar ini semua gara-gara jurusanmu tergabung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hah. Kamu gak tahu apa ini keuntungan atau kutukan.
18. Realita mengejutkan berikutnya adalah dosenmu tidak (setidaknya belum) mengajarkan hal-hal yang kamu tunggu-tunggu
Untungnya, selain mata kuliah ilmu politik kamu juga mulai diajarkan ilmu komunikasi yang sebenarnya. Tapi apakah disini kamu bakal diajarin skill mewawancara? Mengambil gambar? Mengerjakan desain grafis? Memproduksi siaran?
TIDAK!
Kamu malah akan dapat kuliah soal sejarah, teori, dan analisis. Nama-nama mata kuliahmu:
Pengantar Ilmu Komunikasi
Perkembangan Teknologi Komunikasi
Filsafat Ilmu dan Logika
19. Setelah satu semester berlalu, kamu tersadar bahwa jurusan ini di luar ekspektasimu
Ilmu komunikasi jauh di luar bayanganmu selama ini. Dan pastinya sangat jauh dari bayangan orang-orang yang gak kuliah Komunikasi sama sekali.
20. Kamu pun mulai bertanya-tanya…
“Gue salah jurusan kali ya??”
18. Tapi ilmu nggak peduli pada kegamanganmu. Tetap ada bertumpuk-tumpuk buku yang wajib kamu selesaikan.
Namanya juga mahasiswa, ya harus baca buku juga! Mau gak mau kamu mulai berkenalan dengan nama Harold Laswell, Denis McQuail, Habermas, dan Littlejohn.
Padahal mungkin kamu gak pernah baca buku-buku setebal ini sebelumnya. Palingan juga kamu baca Golden Boy.
21. Anyway, jujur aja. Pas pertama kali dengar nama Littlejohn di kelas, kamu pasti membayangkan wajah ini…
22. Biar kami bantu, ini baru yang namanya Stephen W. Littlejohn…
23. Semakin lama kamu belajar di jurusan ini, semakin berat juga tuntutannya!
Akhirnya, setelah semester pertama terlewati tugas bersifat praktikum datang juga. Kamu mulai harus menulis berita. Kamu mulai diajari bagaimana memegang kamera.
Tapi bentaaar….kok tugas fotografi, produksi siaran, produksi iklan, dan produksi majalah barengan ya? Kapan kamu tidurnya? Hahahahaha.
24. Setelah bertahan cukup lama di jurusan Komunikasi, kamu mengerti bahwa ilmu yang baik adalah yang mengeksposmu pada berbagai macam topik
Awalnya, kamu bingung kenapa harus belajar filsafat dan sejarah di jurusan Komunikasi. Sekarang, kamu tahu bahwa ilmu yang baik bukanlah ilmu yang mengkotak-kotakkan, tetapi ilmu yang menghubungkan. Menghubungkan satu bidang ke bidang lainnya, satu wacana ke wacana lainnya.
(halah. tapi serius nih.)
Belajar Ilmu Komunikasi membuka wawasan kamu soal HAM, kebebasan berekspresi, toleransi, dan berpikiran terbuka. Kamu baru sadar kalau ternyata organisasi butuh komunikasi. Kalau komunikasi erat kaitannya dengan pemasaran. Kalau pemasaran, psikologi, dan komunikasi bisa harus dipelajari secara bersamaan. Kalau untuk berkembang, tidak cukup berkutat pada satu bidang.
0 komentar:
Posting Komentar