ANAKUHO.COM,Muhammad Rifa'i Tohamba Mahasiswa UHO Berbagi kisah Dengan Kegiatan Diluar Kampus Bersama Gerakan Kendari Mengajar :

Pekan lalu, seusai mengajar, saya dihampiri oleh salah satu adik binaan
“Kak, sudah mau pulang?” tanyanya seraya bergantung dipundakku
“Belum dek, sebentar lagi.” saya menurunkan pundak
“Saya ikutpi pulang sama-sama kita.” Kini dia telah berada di belakangku dengan sempurna
“Boleh, turun dulu dek. Di mana rumahnya?”
“Di sana kak, jalan terus, nanti dapat tugu kita belok kanan.” Seraya menunjuk arah jalan yang ternyata berbeda arah dengan jalan yang biasa kami lalui
“Oh, jauh kah rumahnya?”
“Ndakji kak, hanya ndak ada temanku pulang.”
“Oh, iye nanti kakak antar. Tapi sebentar kakak masih tunggu kakak yang lain pulang.”
“Iye kak.” Sambil melemparkan senyum.
**
Tidak lama, semua pengajar sudah keluar dari kelas. Seteleh mewawancarai pengajar proses pengajaran, kami bergegas pulang. Beberapa teman pengajar undur diri lebih awal karena ada kegiatan lain. Hari itu, kami pulang tidak melewati jalur yang biasa kami lalui. Hujan semalaman membuat jalanan tak beraspal dibumbui lumpur setinggi mata kaki. Jalan yang cukup ekstrim memacu adrenalin teman-teman pengajar
“Kak saya ikut nah!” ujar Ikhsan Maulana, menagih janji
“Iyah dek, tunggu Kak Sukma.”
Tidak lama kemudian, teman yang saya tunggu sudah datang dengan ciri khas helm pink-nya bermotif Hello Kitty.
“Sinimi dek, saya bonceng. Duduk di depan nah.” Ujarku seraya menghidupkan mesin motor
“Kak rumahku sebelah sana. Agak masuk hutan.”
“Oh iye, tunjukan saja jalannya nah. ”
“Di mana rumahnya dek?” kini teman yang saya bonceng ikut bicara
“Dekatji kak.”
Jalan tak beraspal yang kami lalui memang cukup berbaya jika menggunakan motor metic, hutan melebar ke mana-mana. Bukit-bukit yang menjulang menambah kesan hutan yang masih perawan. Beberapa kali kami melihat gerombolan sapi di padang rumput, tanpaa penggembala. Gas motor terus dipacu, naik turun bukit dengan perasaan cemas. Hingga sekali ban motor tertimbun lumpur, teman yang saya bonceng memutuskan untuk turun dan berjalan beberapa meter.
“Dek, jauh juga rumahmu dek. Biasanya kalau pulang sekolah naik apa?” saya membuka obrolan setelah berhasil meloloskan diri dari lumpur
“Dijemput. Tapi, kalau bapakku lagi bersawah, saya jalan kaki.” Ujar murid kelas satu sekolah dasar, salah satu murid SD Negeri 30 Baruga
“Oh, kamu suku apa kah dek?”
“Suku Islam.” Ujarnya polos. Rupanya ia belum bisa membedakan agama dan suku
“Islam itu agama dek, bukan suku. Kalau suku itu seperti Jawa, Bugis, Tolaki, Makassar.”
“Suku Bugis kak.” Jawabnya dengan sedikit tersenyum
“Oh, kamu berapa bersaudara dek?”
“Ada tiga orang kak. Saya anak terakhir”
“Kakakmu kelas berapa?”
“Kakak yang mana?”
“Dua-duanya!”
“Kalau yang laki-laki, kerja. Yang perempuan kuliah di Jawa, di Probolinggo. Jurusan akuntansi.”
“Jawa?” seketika temanku terkejut
“Iyah cah, kakaknya di kuliah di Jawa. Mashaa Allah. Tinggal di daerah terpencil, hutan, kebun tapi orang tuanya nomor satukan pendidikan.”
“Iyah, kita saja ini yang lumayan tinggal di tempat rame kuliahnya di tempat biasa.”
“Hahaha... inspiratif banget ini keluarganya.”
“Kak, ini jam 12 toh kak?” kini, Ikhsan menunjuk jam yang saya kenakan
“Iya dek. Eh, pintar mako dek.” Pujiku. Memang diakui, Ikhsan merupakan murid yang memiliki daya tangkap di atas rata-rata teman sebayanya.
Nyiur angin melambai, kicauan burung menggema di segala penjuru, orang-orangan sawah seperti siap siaga menambah kesan persawahan yang asri. Tidak terasa hampir sejam kami menyusuri jalan yang belum kami lalui, tibalah kami di rumah Ikhsan Maulana. Rumah itu tampak dipenuhi semak-semak, berdinding kayu dengan khas rumah adat suku Bugis. Rumah panggung. Sunyi, tidak ada aktifitas di rumah, semua berada di sawah. Rumah-rumah berjarak cukup jauh, sekitar 50 meter.
“Pay, coba tanya orang tuanya tanam apa!”
“Dek, tanam apa di sawah?”
“Kalau di sawah tanam padi. Di kebun juga ada jagung, sayur. Tiap sore saya bantu bapakku di kebun.”
“Oh iye dek.”
“Kita pamit pulang dulu nah. Assalamualaikum. ”
“waalaikumusalam, terima kasih kak.”
“Pay, bagus sekali pemandangannya.” Ujar Kak Sukma, teman yang sedari tadi saya bonceng memilih tidak banyak bicara. Akhirnya angkat bicara melihat bentangan alam.
“Iya bagus. Tapi, betewe saya agak lupami jalan pulang.”
**
Kami, sadar. Menjadi Volunteer di Gerakan Kendari Mengajar merupakan ladang pahala bagi kami. Mengajar, mendidik dan menginspirasi merupakan tujuan utama kami. Mengajar dan mendidik Inshaa Allah kami akan berupaya. Tetapi, untuk kata ‘menginspirasi’ rupanya bukan dari Volunteer saja yang dapat menginspirasi adik-adik binaan. Terkadang kami mendapat inspirasi dari mereka, adik-adik yang tidak tersentuh secara utuh megahnya dunia pendidikan.

Pekan lalu, seusai mengajar, saya dihampiri oleh salah satu adik binaan
“Kak, sudah mau pulang?” tanyanya seraya bergantung dipundakku
“Belum dek, sebentar lagi.” saya menurunkan pundak
“Saya ikutpi pulang sama-sama kita.” Kini dia telah berada di belakangku dengan sempurna
“Boleh, turun dulu dek. Di mana rumahnya?”
“Di sana kak, jalan terus, nanti dapat tugu kita belok kanan.” Seraya menunjuk arah jalan yang ternyata berbeda arah dengan jalan yang biasa kami lalui
“Oh, jauh kah rumahnya?”
“Ndakji kak, hanya ndak ada temanku pulang.”
“Oh, iye nanti kakak antar. Tapi sebentar kakak masih tunggu kakak yang lain pulang.”
“Iye kak.” Sambil melemparkan senyum.
**
Tidak lama, semua pengajar sudah keluar dari kelas. Seteleh mewawancarai pengajar proses pengajaran, kami bergegas pulang. Beberapa teman pengajar undur diri lebih awal karena ada kegiatan lain. Hari itu, kami pulang tidak melewati jalur yang biasa kami lalui. Hujan semalaman membuat jalanan tak beraspal dibumbui lumpur setinggi mata kaki. Jalan yang cukup ekstrim memacu adrenalin teman-teman pengajar
“Kak saya ikut nah!” ujar Ikhsan Maulana, menagih janji
“Iyah dek, tunggu Kak Sukma.”
Tidak lama kemudian, teman yang saya tunggu sudah datang dengan ciri khas helm pink-nya bermotif Hello Kitty.
“Sinimi dek, saya bonceng. Duduk di depan nah.” Ujarku seraya menghidupkan mesin motor
“Kak rumahku sebelah sana. Agak masuk hutan.”
“Oh iye, tunjukan saja jalannya nah. ”
“Di mana rumahnya dek?” kini teman yang saya bonceng ikut bicara
“Dekatji kak.”
Jalan tak beraspal yang kami lalui memang cukup berbaya jika menggunakan motor metic, hutan melebar ke mana-mana. Bukit-bukit yang menjulang menambah kesan hutan yang masih perawan. Beberapa kali kami melihat gerombolan sapi di padang rumput, tanpaa penggembala. Gas motor terus dipacu, naik turun bukit dengan perasaan cemas. Hingga sekali ban motor tertimbun lumpur, teman yang saya bonceng memutuskan untuk turun dan berjalan beberapa meter.
“Dek, jauh juga rumahmu dek. Biasanya kalau pulang sekolah naik apa?” saya membuka obrolan setelah berhasil meloloskan diri dari lumpur
“Dijemput. Tapi, kalau bapakku lagi bersawah, saya jalan kaki.” Ujar murid kelas satu sekolah dasar, salah satu murid SD Negeri 30 Baruga
“Oh, kamu suku apa kah dek?”
“Suku Islam.” Ujarnya polos. Rupanya ia belum bisa membedakan agama dan suku
“Islam itu agama dek, bukan suku. Kalau suku itu seperti Jawa, Bugis, Tolaki, Makassar.”
“Suku Bugis kak.” Jawabnya dengan sedikit tersenyum
“Oh, kamu berapa bersaudara dek?”
“Ada tiga orang kak. Saya anak terakhir”
“Kakakmu kelas berapa?”
“Kakak yang mana?”
“Dua-duanya!”
“Kalau yang laki-laki, kerja. Yang perempuan kuliah di Jawa, di Probolinggo. Jurusan akuntansi.”
“Jawa?” seketika temanku terkejut
“Iyah cah, kakaknya di kuliah di Jawa. Mashaa Allah. Tinggal di daerah terpencil, hutan, kebun tapi orang tuanya nomor satukan pendidikan.”
“Iyah, kita saja ini yang lumayan tinggal di tempat rame kuliahnya di tempat biasa.”
“Hahaha... inspiratif banget ini keluarganya.”
“Kak, ini jam 12 toh kak?” kini, Ikhsan menunjuk jam yang saya kenakan
“Iya dek. Eh, pintar mako dek.” Pujiku. Memang diakui, Ikhsan merupakan murid yang memiliki daya tangkap di atas rata-rata teman sebayanya.
Nyiur angin melambai, kicauan burung menggema di segala penjuru, orang-orangan sawah seperti siap siaga menambah kesan persawahan yang asri. Tidak terasa hampir sejam kami menyusuri jalan yang belum kami lalui, tibalah kami di rumah Ikhsan Maulana. Rumah itu tampak dipenuhi semak-semak, berdinding kayu dengan khas rumah adat suku Bugis. Rumah panggung. Sunyi, tidak ada aktifitas di rumah, semua berada di sawah. Rumah-rumah berjarak cukup jauh, sekitar 50 meter.
“Pay, coba tanya orang tuanya tanam apa!”
“Dek, tanam apa di sawah?”
“Kalau di sawah tanam padi. Di kebun juga ada jagung, sayur. Tiap sore saya bantu bapakku di kebun.”
“Oh iye dek.”
“Kita pamit pulang dulu nah. Assalamualaikum. ”
“waalaikumusalam, terima kasih kak.”
“Pay, bagus sekali pemandangannya.” Ujar Kak Sukma, teman yang sedari tadi saya bonceng memilih tidak banyak bicara. Akhirnya angkat bicara melihat bentangan alam.
“Iya bagus. Tapi, betewe saya agak lupami jalan pulang.”
**
Kami, sadar. Menjadi Volunteer di Gerakan Kendari Mengajar merupakan ladang pahala bagi kami. Mengajar, mendidik dan menginspirasi merupakan tujuan utama kami. Mengajar dan mendidik Inshaa Allah kami akan berupaya. Tetapi, untuk kata ‘menginspirasi’ rupanya bukan dari Volunteer saja yang dapat menginspirasi adik-adik binaan. Terkadang kami mendapat inspirasi dari mereka, adik-adik yang tidak tersentuh secara utuh megahnya dunia pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar