
Hingga pada suatu malam, di warung kopi yassiwajori ku menikamti secangkir kopi dan beberapa batang rokok sambil cerita dan bertukar pikiran bersama teman tentang cinta, karena pada saatu itu teman saya lagi khasmaran(hihihi). Tepat jam 20.00 salah satu stasiun televisi di warung kopi tersebut memuat berita tentang hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana seksual terhadap anak.
Konteks cerita pun bergeser, yang tadinya tentang cinta, (ala...ala khalil gibran) berubah menjadi hukuman kebiri, dan mosi pun di bagi, teman saya pro dan saya kontra terhadap hukuman kebiri. Dengan berbagai alasan yang di kemukakan, baik itu secara filosofis, yuridis dan studi komparasi degan negara lain, tentang hukuman kebiri, namun saya tetap berdiri dan menolak hukuman kebiri yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan tata hukum di negara indonesia.
Pemberlakuan Hukuman Kebiri yang Subjektif
Hukum kebiri menurut KBBI memiliki pengertian secara harfiah sudah dihilangkan (dikeluarkan) kelenjar testisnya (pada hewan jantan) atau dipotong ovariumnya (pada hewan betina); sudah dimandulkan. ini artinya, para pelaku kejahatan yang dikenai hukum kebiri nantinya sudah hilang fungsi seksualnya. Baik jika ia laki laki, maka laki laki tersebut sudah tidak akan tertarik melihat lawan jenis.
Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hukuman kebiri di legalkan di inonesia. Dengan pertimbangan bahwa kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa karena kejahatan ini mengancam dan membahayakan jiwa anak. “Kejahatan yang telah merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta kejahatan yang telah mengganggu rasa kenyamanan, ketenteraman, keamanan dan ketertiban masyarakat. (Presiden RI)
Hukuman Kebiri dalam Teori Pemidanaan
Hukuman kebiri sebagai salah satu sanksi dalam hukum pidana Indonesia yang baru di berlakukan berdasar ketentuan Perpu yang di keluarkan oleh Presiden RI, berkenaa dengan sanksi yang berlaku sebagai suatu instrumen untuk menak-nakuti pelaku untuk tidak melakuan tindakan yang yang di maksud. Tetapi tak bisa di helakan dalam penetuan sanksi kebiri menjadi cerminan bahwa efek jera menjadi tujuan utama pemidanaan. Hal tersbut sesuai dengan teori pembalasan dalam hukum pidana, dimana negara memberi pidana kepada orang yang melakukan pidana karena sebagai suatu pembalasan sehingga seseorang yang telah melakukan pidana wajib hukumnya untuk dibalas dengan sanksi berupa pidana. Immanuel Kant berpendapat “kejahatan akan menimbulkan rasa ketidakadilan sehingga pelakunya harus merasakan derita sebagai sebuah pembalasan dari ketidakadilan yang telah dilakukannya.
Nilai pancasila yang terlupakan
Dalam tulisan ini penulis mencoba menggali arti penting pancasila dalam pembangunan tata hukum Nasional.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan Pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 serta penjelasannya. Dengan demikian ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 adalah staatsfundamentalnorm yang menurut Darji Darmodiharjo adalah filsafat hukum Indonesia, dan batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, karena dalam batang tubuhnya ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif indonesia. Penjelasan UUD 1945 memberikan latar belakang pikiran dan suasana batin yang muncul pada saat UUD 1945 itu dibentuk.
Sementara itu Mahfud menyebut Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan pada dua alasan. Pertama, Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di Indonesia. Kedua, Pembukaan dan Pasal-pasal UUD mengandung nilai-nilai khas yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu.
Dengan di keluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang seakan mengabaikan atau tutup mata terhadap nilai tujuan pemidanaan dan nilai yang terkandung dalam pancasila.
1. Tujuan pidana hanya semata-mata untuk pembalasan, namun efekjera dari tujaun pemidanaan jauh dari harapan, seperti yang di paparkan oleh dr. Boyke, pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. "Yang sakit itu kan jiwanya. Kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya. Makanya saya kurang setuju dengan diberlakukannya itu,"
2. Dari kacamata pancasila yang memuat sila tentang ketuhanan yang maha Esa maka saya mengambil Dari prespektif agama Islam sebagai salah satu ‘source of the law’ hal ini jelas dilarang, dalam Islam hal ini termaktub dalam Hadist shahih yang berbunyi ; ”Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073;muslim no 3390).
Akar Masalah
Merumuskan ketentuan pidana tidak boleh seenaknya, dilandasi like or dislike, kepentingan parsial dsb, sebab tentu harus mempunyai strategi, rambu-rambu, pengkajian yang mendalam. Secara formal di negeri ini ada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagai penyempurnaan UU No. 10 Tahun 2004) telah memberikan pedoman. pada pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara, Kemudian penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Fakta mencengangkan menjelaskan berdasarkan penelitian oleh Pakar Hukum Pidana Chairul Huda, pemidanaan kita di Indonesia belum memberikan acuan yang komprehensif tentang bagaimana merumuskan ukuran suatu tindak pidana. Bagaimana terbayangkan hal itu terjadi dalam produksi hukum kita. Dari masalah itu pertanyaan yang muncul adalah sejauh apa nilai ketercelaan yang menyebabkan Pengebirian harus dilakukan pada pelaku kejahatan seksual terhadap anak?, bagaimana mengukur nilai ketercelaan itu?. Bukankah itu kekejaman yang menyiksa dalam waktu yang panjang, kenapa tidak dihukum mati saja langsung?, padahal yang terganggu adalah jiwanya, kenapa kita tidak berpikir untuk merehabilitasinya seperti pelaku obat-obat terlarang yang menghancurkan bangsa secara lebih luas efeknya?.(la ode Muhram)
Harmoni Pertimbangan Dalam menyusuan suatu kebijakan, harus memperhatikan suatu pertimbangan yang objektif dari berbagai sudut pandang yang digunakan. Pertimbangan filosofis, yuridis, sosiolgois dan komparasi harus di perhatikan dari tiap-tiap sudut pandang, serta nilai- nilai yang terkandung dalam pancasila. Di keluarkannya Perpu yang melagalkan hukuman kebiri oleh presiden RI, di harapkan di bahas kembali di DPR RI dengan kebijakan yang sebijak-bijaknya agar di terima di berbagai kalangan karena Keterwakilan rakyat pada pemimpin-pemimpin yang berkualitas tentunya wajib menghasilkan produk hukum berkualitas, entahlah hari ini mereka berkualitas atau tidak, kenyataan telah menunjukan legal policy pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ternyata banyak yang miskonsepsi hingga berujung pada menebar ketidakadilan. (la ode muhram)
La Fijara Ode
0 komentar:
Posting Komentar